12 Agu 2010

ASI, Feminis dan Klas


“Mbak, minta es batu yang banyak dan tolong penuhi kotak ini”

“Apa isi kotak itu bu?”

“Botol-botol penyimpanan ASI!. Ini untuk bayi saya”.

Pramugari dengan sigap segera membantu saya. Beberapa penumpang memandang saya sebentar lalu melanjutkan aktivitas masing-masing. Seorang perempuan paruh baya yang duduk disebelah saya memulai percakapan.

“Oh itu tadi ASI mbak ya?”

“Iya” Dengan bangga saya menjawab.

Bayi saya berusia satu tahun waktu itu. Ia tidak pernah minum susu formula. Hanya ASI. Alat sedot ASI elektrik selalu menemani kemanapun saya pergi.

Saya menikah pada usia 31 tahun. Melewati pergulatan batin. Termasuk diskusi mendalam dengan beberapa pihak. Saya akan membuat satu tulisan tersendiri soal itu. Namun tidak sekarang.

Tiga bulan setelah menikah, saya hamil. Di RS Duren Tiga. Hanya dengan mengejan beberapa kali. Suster membuka kancing atas baju saya. Menaruh bayi yang masih kotor itu di atas dada saya. Skin to skin contact. Ritual yang aneh.

Berulang kali saya mengatakan “Please get rid away my baby from my breast..cepat bersihkan. Kasihan”. Tapi dokter dan suster tetap menaruh di dada saya. Mungkin karena bosan dengan rengekan saya, mereka pun membawanya keluar. Sekarang saya tahu, ternyata mereka mempraktekan inisiasi menyusui dini. Istilah yang baru saya kenal setelah cucu SBY lahir dan diliput infotainment.

Enam jam setelah melahirkan, suster datang mengantar bayi. Tanpa ba bi bu ia memencet payudara kiri saya yang keras sehingga keluar cairan bening, agak kekuningan. Ia bilang itu Kolostrum. Cairan penuh gizi dan protein. Bayi saya masih saja belum berhasil menyusu di payudara kanan. Lepas terus. Masukkan lagi, lepas lagi, dan begitu seterusnya.

Saya mulai frustasi. Merasa tidak mampu untuk menyusui. Letih.

“Suster tolong bawa jauh-jauh bayi saya. Saya tidak mau tidur bersama dia malam ini”

“Saya mau istirahat!”

Suster memandang dengan tatapan aneh. Ia menjelaskan bahwa bayi akan menangis jika lapar. Biasanya saat tengah malam. Penting bagi bayi untuk bersama ibu. Ia butuh ASI. Makanan utamanya. Tapi saya sudah tidak peduli. Mereka pasti punya susu formula atau air putih untuk mengatasinya. Malam itu saya tidur dengan pulas.

Pagi hari payudara saya bengkak. Bengkak luar biasa hingga ukurannya dua kali lipat dari ukuran biasanya. Terasa seksi tapi sakit. Sakit luar biasa.

Dulu, saat hamil saya sering sesumbar: tidak mau menyusui anak. Saya hanya akan kasih susu sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui. Saya sangat paham hak anak. Tapi my body is my right!. Enak saja semua tanggung jawab ini jadi beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan menyusui. Rasanya tidak adil.


"Subhanallah, ASI ibu banyak sekali...ibu sangat beruntung!” Komentas suster saat memeriksa kondisi saya. Lalu Bayi dibawa masuk ke kamar.

Kali ini tubuh saya sudah segar. Cukup tidur dan bersemangat. Ia minta saya untuk belajar menyusui. Suster pun mengatakan bahwa sejak tadi malam bayi saya belum minum apa-apa. Ia membantu saya melekatkan payudara ke mulut bayi. ‘Jlebb’ mulutnya yang mungil itu langsung menghisap halus payudara saya. Ampun. Jangan ditanya sakitnya. Tangan suami saya remas kencang. Saya pun menutup mulut rapat, menahan teriak.

Suster terus membetulkan posisi bayi. Ia memberi semangat. “Payudara tidak akan sakit kalau posisi menyusui sudah benar” Saya ingat ia mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Akhirnya... saya dan bayi dapat posisi latch on yang benar. Rasa sakit menghilang. Berganti dengan rasa enak. Sangat enak dan nyaman. Bengkak karena kepenuhan air susu sudah reda. Dihisap oleh bayi.

Begitu seterusnya. Saat payudara sakit dan bengkak. Saat itulah waktu makan si bayi.

Saya benar-benar lupa dengan sesumbar saya untuk tidak menyusui. Satu bulan menyusui terlewati. Iramanya juga masih saya ikuti. Menyusui bayi tiap dua jam atau kira-kira saat ia lapar. Waktu luang diantaranya saya gunakan untuk makan dan keluyuran di dunia maya. Sampai suatu hari saya melihat sebuah milis. Milis tentang beragam informasi, ajang keluh kesah dan sharing ibu-ibu menyusui ASI. Semenjak itulah cakrawala pengetahuan mengenai ASI sedikit terbuka. Punya ilmu baru per-ASI-an.

Apakah kamu tahu bahwa ASI tidak ada tiruannya? Apakah kamu tahu kalau kandungan gizi terbaik ada dalam ASI? Diskusi-diskusi semacam itu yang ramai. Sederhana dan tidak spektakuler. Namun bagi saya, keberadaan data ilmiah, hasil riset tentang ASI versus susu formula serta referensi tulisan-tulisan dari sumber yang dipercaya sudah sangatlah membantu.

Namun saya tidak memungkiri bahwa banyak juga diskusi-diskusi atau argumen para anggota milis dari para pegiat atau promotor ASI yang sulit saya terima atau sepakati. Misalnya argumen yang menyatakan bahwa seorang perempuan wajib menyusui karena bagian dari kodrat. Atau tagline yang saya pikir sangat keras dan menyakiti “hanya anak sapi yang minum susu sapi”. Belum lagi pompa semangat para pegiat ASI yang saya pikir justru membuat perempuan menyusui menjadi merasa bersalah luar biasa kalau gagal memberikan ASI buat bayinya.

Mengalami semua ini membuat saya penasaran. Satu sisi saya mempromosikan kedaulatan tubuh perempuan. Satu sisi lainnya saya melihat betapa giat para pengkampanye ASI mempengaruhi banyak pihak atas nama hak anak dan motherhood. Saya termotivasi untuk cari tahu asal muasal perseteruan soal menyusui antara pegiat ASI dan para feminis.

Saya tidak akan memasuki perdebatan mana yang lebih unggul antara manfaat ASI atau Sufor. Meskipun data-data yang ditampilkan ilmiah namun saya menemukan bahwa data ilmiah yg lain juga menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kualitas ASI dan sufor. Saya hanya akan mulai dari persoalan mendasar-nya terlebih dahulu. Pandangan mengenai hak menyusui atau tidak menyusui.


(bersambung)

1 komentar:

dudi mengatakan...

menarik. gw pengen tau lanjutannya.

mana lanjutannya???