10 Agu 2010

Mengenai PILIHAN

Catatan untuk putriku Cakrawala

Pilihan (1)

Setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Termasuk saya. Semua serba spontan. Mengalir seperti air. Lulus sekolah menengah saya masih tidak tahu mau jadi apa. Sempat terpikir jadi dokter tapi sadar diri. Nilai Kimia di raport selalu merah. Untung saja masih bisa naik kelas.

Orang tua saya tidak pernah memberikan pengarahan. Namun mereka selalu mementahkan kehendak menjadi penulis. “Kau tidak bisa makan dengan tulisanmu” Merujuk pada seorang paman di Jogja. Pamanku jurnalis yang miskin. Impian menjadi penulis roman harus saya tekan dalam-dalam. Saya tidak mau miskin seperti paman dan orang tua.

Menginjak kelas tiga, mereka selalu mendengung-dengungkan satu kalimat.

No money for you if you fail in the UMPTN. Is that clear? No money for private college!

Belajar keras ikut bimbingan belajar? No way! Orang tua tidak ada duit.

Walhasil saya hanya membeli satu buku latihan soal UMPTN seukuran bantal. Tiap hari belajar tambahan sendiri. Ketidak pastian akan masa depan membuat saya sangat nervous. Meskipun soal-soal UMPTN banyak yang saya kuasai, namun saya lebih banyak termenung melihat lembaran-lembaran soal. Saat itu tahun 1994, kegagalan pertama kali dalam hidup saya. Gagal masuk perguruan tinggi untuk menjadi mahasiswi kedokteran.

Orang tua saya jujur. Mereka bukan tidak mau saya kuliah tapi mereka sungguh tidak punya uang untuk menyekolahkan saya di perguruan tinggi swasta. Bapak sudah tiga tahun pension dini karena kantornya dirampingkan. Dan mereka bukan tipikal orang yang akan berusaha mati-matian agar anaknya bisa melanjutkan pendidikan.

Satu-satunya harta hanya rumah yang kami tempati. Rasanya saya bermimpi kalau mereka menjual rumah agar saya bisa kuliah. Itu tidak akan terjadi. Saya hanya bisa menangis ”Ibu, mbak ingin kuliah“. ”Kami tidak punya uang mbak, ada uang sedikit tapi ini untuk adik-adikmu bayar sekolah“. Hening sejenak diantara aku dan ibuku ”kamu kursus saja dulu ya?“

Maka saya harus berpikir cepat. Memutuskan apa yang paling baik dari sedikitnya pilihan. Saya menghentikan tangis. Mengusap airmata dan mencoba bangkit dengan kepala tegak. Saya tidak boleh egois. Saya harus cari uang sendiri untuk kuliah. Kursus yang saya ambil harus membuat saya mudah diterima bekerja. Saya ambil kursus akuntansi dan kursus bahasa inggris.

Usia saya 18 tahun saat itu. Usia dimana saya akhirnya berani dan bisa sedikit membuat keputusan dari sempitnya pilihan. Lurus saja rencananya. Selesai kursus akan melamar kerja sambil kuliah.

Rencana tidak berjalan mulus. Saya menemukan bahwa saya tidak menyukai dan menikmati akuntansi. Saya memiliki kesulitan untuk menghitung uang yang tidak pernah saya pegang. Tiga bulan kursus dan saya berhenti. Begitu pula dengan kursus bahasa Inggris. Gurunya gemar berfantasi. Menceritakan perjalanan keluar negeri dengan detail yang sering berbeda dengan yang saya pernah baca dibuku. Saya malas mengikuti pelajarannya.


Pilihan (2)

Saya berketetapan hati bahwa tahun ini akan saya habiskan waktu dengan belajar. Memamah buku pelajaran dan buku latihan sebesar bantal agar kali ini bisa lolos UMPTN. Orangtua saya masih berjanji bahwa mereka akan membayari kuliah saya jika saya lolos masuk perguruan tinggi negeri.

Sahabat ibu menganjurkan agar saya mendaftar di IKIP. Ia bilang bahwa peluang saya lebih besar jika masuk sana. Pilih jurusan yang sedikit peminatnya. Saya ambil jurusan bahasa perancis. Lagi, bukan karena saya ingin menjadi ahli bahasa prancis atau bahkan gurus bahasa perancis, melainkan karena paling besar kemungkinannya untuk diterima.

Sahabat ibu pun berhasil meyakinkan orang tua saya bahwa penting untuk anak untuk melajutkan kuliah. Kalau tidak masuk perguruan tinggi negeri, carilah perguruan tinggi swasta yang murah. Setelah cari info sana-sini, saya kemudian mendaftar ke kampus ABA Cikini. Jurusan bahasa Inggris. Saya tidak punya rencana apapun dengan mengambil jurusan ini. Saya hanya tahu dan sedikit paham bahwa menguasai bahasa ini akan membuatmu jadi apapun yang kamu mau. Minimal penerjemah.

Setidaknya sudah tiga keputusan besar yang saya ambil tanpa pengaruh dari siapapun. Keputusan untuk kursus. Keputusan untuk berhenti kursus dan keputusan untuk melanjutkan mimpi berkuliah.

Giat belajar membuahkan hasil. Semua soal bisa saya lalap dengan santai. Sempat menyesal mengapa kemarin hanya pilih masuk IKIP. Kalau soal-soal ujian semudah itu, semestinya saya bisa menembus kedokteran UI. Ah, tapi saya tidak mau menyesal.

Akhirnya saya kuliah. Jurusan bahasa Perancis IKIP Jakarta. Satu persoalan selesai. Persoalan lain muncul. Saya tidak tahu jawaban seorang senior saat ditanya kenapa pilih masuk Bahasa Perancis IKIP. Terlalu rumit rasanya menjelaskan pada orang yang baru saya kenal mengenai pergulatan saya masuk kampus dan jurusan ini. Saya pun tidak mau menjawab singkat tidak tahu.

Ilmu mengarang indah saya keluarkan. Saya bilang saya hendak menjadi pramugari. Kebetulan sebuah pesawat terbang yang lewat mengilhami saya. Saya pikir tidak mungkin saya jawab jadi pilot, jadi saya pikir amanlah jawaban pramugari itu. Ternyata jawaban itu tidak aman. Para mahasiswa senior nampak terkejut mendengar jawaban saya.

Hari terakhir Ospek. Ada sebuah perenungan yang mereka buat. Setiap calon mahasiswa diminta untuk berbicara. Lalu ada salah satu calon mahasiswa laki-lakiu jurusan bahasa inggris berbicara. Intinya, ia sangat menyesal mengetahui bahwa ada seorang calon mahasiswa yang kuliah disini cuma ingin jadi pramugari. Hehehe. Saya tertawa dalam hati.

Pilihan (3)

Kuliah dimulai. Tentu saja saya kesulitan mempelajari bahasa ini. Saya tidak pernah tahu dan melihat bahasa Perancis. Tidak bisa melafal Je m’appele dengan sempurna. Saya ada masalah dengan pengucapan Je dalam bahasa Perancis. Padahal semua pelajaran dasar pasti dimulai dengan awalan Je. Pusing. Belum lagi dengan dosen filsafat yang sangat intimidatif. Dosen tua yang perkataannya tidak pernah ada yang berani untuk membantah. Semester pertama sangat berat. IP-ku bisa selamat dapat dua koma karena MKDU.

Kejenuhan mulai memenuhi rongga dada. Pertanyaan-pertanyaan dalam kepala terus bergaung. Mulai menyadari bahwa masuk jurusan ini adalah sebuah kesalahan. Saya tidak menikmati pelajarannya. Saya hanya menikmati status baru. Jadi mahasiswa perguruan tinggi negeri. Saya hanya suka dengan kegiatan kongkow bersama mahasiswa seni rupa. Ikut berpenampilan nyentrik dan hobi nonton teater hasil karya mahasiswa bahasa Indonesia.

Kuliah di dua tempat saya lakoni. Pagi hingga sore hari di IKIP Jakarta Rawamangun. Malam hari di kanpus ABA Cikini. Kalau sudah sangat mengantuk saya sering salah naik bus. Semestinya naik jurusan senen, saya malah naik jurusan tanjung priok. Tidur di P20 jurusan lebak bulus setiap malam saya lakukan pulang kuliah. Lalu berangkat pagi jam lima dari Ciputat agar terkejar kuliah jam 7 atau jam 8. Begitu terus ritmenya selama setahun. Saya menjadi sangat overwhelmed dengan kuliah-kuliah saya.

“est ce que vous etes d’accord?” “Oui” pada pagi hari.

Lalu pada sore hari, “Do you understand?”“Oui”.

Sering sekali terbolak-balik. Jawaban dalam bahasa Inggris, saya jawab pakai bahasa Perancis. Dan begitu sebaliknya. Saya segera sadar bahwa belajar dua bahasa pada saat bersamaan diluar kemampuan saya.

Lagi, seperti air…saya hanya mengalir... Pilihan sempit namun harus dibuat. Fokus pada kuliah bahasa Inggris atau bahasa Perancis. Tanpa bantuan dan arahan dari siapapun, saya harus membuat keputusan.

Keputusan-keputusan besar itulah yang kemudian membawa saya sampai pada hari ini. Menjadi. Bukan menjadi kaya, seperti yang diharapkan orang tua. Namun menjadi seseorang yang mampu mandiri. Sadar dan paham atas konsekuensi atas tiap keputusan yang diambil.

Pilihan (4)

Mommy hanya hendak menegaskan bahwa menjadi remaja beranjak dewasa bukan hal mudah. Sulit. Amat sulit. Apalagi jika libido sudah ikut main peran. Pacaran dan berkasih-kasihan. Seakan-akan tidak ada orang lain di dunia ini selain pacar kita. Kepelikan dalam hidup ditingkahi ledakan hasrat kadang menjerumuskan kita untuk mengambil keputusan-keputusan yang prematur.

Belakangan mommy menyadari bahwa mommy tidak pernah punya ruang yang cukup untuk berpikir saat mengambil keputusan. Semua keputusan hanya dilakukan karena tidak ada pilihan atau karena berdasar insting. Tidak ada yang pernah mengajari bagaimana cara mengambil keputusan. Sekolah tidak mengajari. Orang tua tidak mengajari.

Satu-satunya keputusan mommy yang didasari oleh pemikiran panjang dan dalam adalah saaat mommy hendak memiliki anak. Memiliki Cakrawala. Lainnya tidak.

Oleh karena itu, mommy berharap kepada Cakrawala untuk terus berjuang. Jangan takut bertanya. Selalu berpikir mengenai konsekuensi. Melakukan assessment yang tepat dalam mengambil keputusan. Hitung kelebihan dan kekurangannya. Utamakan apa yang kau butuhkan, lalu baru pikirkan apa yang kau inginkan.

Dengan begitu, tidak akan ada keputusan yang akan kakak sesali. Kalaupun hasil dari keputusan itu tidak selalu seperti kehendak kakak, selalu ingat bahwa semua proses dan tahapan bisa jadi lebih berarti. No regret!

Masa remaja kakak harus berbeda dari Mommy. Mulailah berani mengambil keputusan sedini mungkin. Namun diskusikanlah, bersedia juga menerima saran dan input. Pertahankan argumenmu kalau kamu rasa tepat dan terbuka serta jujur kalau pendapat kakak tidak tepat.

Mungkin dengan catatan-cattan kecil inilah, kakak bisa cukup siap menghadapi hari. Menghadapi masa remaja. Memiliki keputusan sendiri dan bertanggung jawab penuh atasnya.

Mommy hanya bisa mendukungmu karena sepenuhnya, semuanya adalah hidupmu

Banda Aceh

10 Agustus 2010

Tidak ada komentar: