9 Jun 2010

Apakah pencalonan Jupe dan Maria Eva kontraproduktif bagi perjuangan politik perempuan?

Satu waktu saya ditanya oleh seorang kawan.

“Menurutmu, apakah pencalonan Julia Perez dan Maria Eva bisa menjadi kontra produktif bagi perjuangan perempuan politik?”

Tidak mudah bagi saya untuk menjelaskan dengan jitu jawabannya -seperti yang biasa saya lakukan *plak: ditampol rantang*-.

Saya membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit berbicara dengannya.

Kira-kira begini jawaban saya pada waktu itu:

Gue tidak bisa kasih jawaban iya atau tidak begitu saja, tapi gue mau elu melihat dulu dua aspek ini:

Pertama, aspek kuantitas versus kualitas

1. Dulu, saat keterwakilan perempuan untuk posisi politik diperjuangkan, ada kekuatiran bahwa tidak cukup banyak perempuan berkualitas untuk menempati posisi jabatan politik.

2. Namun diyakini, kurangnya kualitas dalam wilayah politik BUKAN KARENA perempuan malas, melainkan karena kentalnya budaya patriarki (dalam kultur dan interpretasi agama) yang mengakibatkan perempuan lemah akses dalam pendidikan, apalagi berpolitik (misal: berorganisasi). Orde baru dengan sukses telah meminggirkan perempuan dari wilayah publik terhitung sejak 1965.

3. Jadi, kekuatiran (point nomor 1) disimpan rapat-rapat. Perjuangan keterwakilan perempuan harus tetap dilanjutkan meski kualitas sumber dayanya minim. Angka keterwakilan mesti di boosting karena ibarat lari, perempuan start-nya terlambat.

4. Lalu tentu saja, secepat-cepatnya kemampuan perempuan harus ditingkatkan. Bukan satu atau dua perempuan ya, melainkan semua perempuan (aktivis, ibu rumah tangga, artis, selebritis, perempuan petani, buruh dsb)

5. Memang dalam persoalan meningkatkan kualitas ini, perempuan tidak bersusah payah amat atau ngoyo mengejar ketertinggalannya dengan laki-laki politisi. Mengapa? Karena tidak ada yang perlu dikejar!

6. Siapa bilang lelaki politisi lebih pintar, lebih jagoan dan lebih hebat dari perempuan? Tidak ada tuch. Tapi kita berbicara tentang perempuan, yang untuk membuktikan kehebatannya, perempuan harus lebih hebat dua kali lipat dari laki-laki. Oleh karenanya, harus belajar lebih banyak. Sial!

Kedua, aspek direct democracy versus artis/public figure berpolitik

1. Apakah kamu setuju dengan pendapat ini?

SEHARUSNYA semua warga Negara BERHAK untuk exercising her/his political rights. Terlepas dia muslim/non muslim/orang miskin/orang kaya/mantan koruptor/mantan napol/mantan pencuri/artis/gay/lesbian/eks PKI/Eks Teroris/pemain pelem bokep/pedagang DVD bajakan/supir angkot dsb.

Kalau SETUJU maka we are in the same page.

Tetapi kalau tidak setuju, tidak perlu kamu dengarkan soal yang kedua ini. (nah, kebetulan kawan saya setuju, jadi saya melanjutkan)

2. Pilkada/Pilsung adalah salah satu bentuk telanjang direct democracy. Rakyat memiliki hak untuk memilih langsung wakilnya. Dulu saat kepala daerah dipilih oleh parlemen, tidak sulit bagi parpol untuk meyakinkan setidaknya 25-100 orang untuk memilihnya. Satu kepala 10-50 juta, persoalan beres!. Tapi bagaimana sekarang caranya menyogok 1 juta pemilih misalnya. Pun tidak ada jaminan dipilih karena rakyat sudah lebih pintar. Pilih yang sudah dikenal!

3. Parpol juga makin pintar, seorang kandidat kepala daerah lebih berharga kalau ia menang daripada kalah. Duit jasa calo tidak cukup besar buat menghidupi partai. Pilihan parpol menjadi makin sempit. Hanya dua pilihannya: cari yang punya duit banyak (untuk beli popularitas) atau cari yang sudah populer.

4. Pilihan pragmatis. Akan tetapi ini buah dari direct democracy. Mirip plek dengan Philippines: parlemen bertaburan selebritis (mulai dari artis sinetron lokal sampai bintang olahraga)

5. Lalu siapa yang memilih sistem direct democracy? Partai Politik, bung. Apakah salah? Tidak. Dalam konteks deepening democracy, direct democracy adalah sistem paling ampuh untuk memaksimalkan kehendak rakyat. Persoalannya, apakah rakyat sudah mendapatkan pendidikan politik yang matang?. Belum. Lalu siapa yang bertanggung jawab kasih pendidikan? Dalam UU Parpol, parpol berkewajiban memberikan pendidikan politik kepada rakyatnya. Ini yang belum dijalankan dengan baik.

6. Artis/selebritis berpolitik? Silahkan, karena itu hak politik setiap warga negara. Pun sistem mendukung, parpol mengakomodir.

Nah, kembali ke pertanyaan:

“Menurutmu, apakah pencalonan Julia Perez dan Maria Eva bisa menjadi kontra produktif bagi perjuangan perempuan politik?”

Maka saya akan menjawab....seharusnya TIDAK, JIKA...dan ini JIKA.... rakyat sudah mendapatkan haknya yakni pendidikan politik. Baik dari partai politik, pemerintah, aktivis lsm dan termasuk warga politikana yang sudah sedikit tercerahkan ini.

Sayangnya, hal ini belum terjadi. Namun, BUKAN Julia Perez dan Maria Eva yang mesti memikul beban dosa kontra produktif terhadap perjuangan perempuan ini. Melainkan pihak-pihak yang baru saja saya tuliskan tadi.

Kalaupun saya jawab IYA, maka pihak-pihak tersebut yang harus bertanggung jawab. Bukan JUPE, dan bukan ME.

Satu catatan kritis tambahan,

Saya melihat banyak sekali orang-orang yang menghina dan mencemooh serta memojokkan Jupe dan ME dengan asoy geboy... Bercermin dong!

Silahkan saja berteriak-teriak dan berkampanye negatif, menghina para pemilih Jupe dan ME, tapi jangan pernah diskriminasi PEREMPUAN karena memiliki payudara, pantat, kecantikan dan tubuh yang indah.

Jangan pula hambat hak politik seseorang karena ia tidak seperti lazimnya yang elo inginkan menjadi kepala daerah misalnya: menggunakan penutup kepala, berpendidikan tinggi dan punya suami/istri baik-baik dengan keluarga yang sakinah.

Kalau mau sikat JUPE dan ME, sikat programnya, atau sikat latar belakangnya yang berkaitan dengan penindasan terhadap rakyat: menipu, korupsi, mencoleng, mendukung traficking, KDRT dsb (jika ada). Pakai ukuran yang jelas!

Lalu, biarkan saja rakyat yang memilih!

Tidak ada komentar: